|
Sinopsis:
Setelah hampir empat dasawarsa lalu saya terpikat dengan Arjuna Mencari Cinta, saya merasakan kesegaran yang pulih kembali melalui sejumlah sajak-sajak dalam buku ini. Yudhistira menunjukkan gejala yang sering tampak pada sastrawan yang bertambah usia: puisinya tak amat ingin berpetuah, atau jadi nyinyir, karena merasa sudah begitu arif dan alim berkat pengalaman. Saya tak merasakan di dalamnya ada ambisi besar untuk bermanfaat dan jadi bimbingan.Sajak-sajak ini lebih kalem tapi masih sering bergurau, mungkin genit, mungkin nakal.
Pemandangan kota sehari-hari, percakapan sehari-hari, di bait-baitnya tak terasa meletihkan, karena diungkapkan seakan-akan oleh seseorang yang baru menemui dunia dan merasa geli atau terpesona dan tak merasa berdosa.
Dalam pengantarnya, dengan kena Radhar Panca Dahana membandingkan sajak-sajak ini dengan puisi Joko Pinurbo, meskipun yang terakhir ini datang setelah Yudhis, dan dalam banyak hal lebih “lugu” dan tanpa pretensi. Pada sajak-sajak ini, tulis Radhar, ada “kenakalan logika yang sering mengundang makna tambahan”. Atau semacam “satu patahan”, baik dalam gaya bahasa, rima sajak, dan juga “pemikiran atau renungan di dalamnya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar